Jakarta (Nababan)- Tim Advokasi Korban Ujian Nasional (TeKUN) akan mengajukan komplain kepada Komite HAM PBB, khusus hak atas pendidikan, apabila pemerintah masih memberlakukan ujian nasional (UN). UN dinilai menimbulkan banyak masalah, dan melanggar kovenan Hak Ekosob yang diratifikasi Indonesia pada 30 September 2005.
“UN akan kita masukkan sebagai pelanggaran pendidikan dalam laporan pelaksanaan Hak Ekosob Indonesia 2010. Kami juga akan menyurati Mr Munoz sebagai pelapor khusus, dan mengundangnya untuk membuktikan apakah di Indonesia ada pelanggaran atau tidak”, ujar anggota TeKUN, Nurkhilis Hidayat di Jakarta, Selasa (2/12).
Dikatakan, pelanggaran ini akan mengakibatkan citra Indonesia buruk di masa internasional, karena pemerintah akan dinilai telah lalai dan tidak mampu memenuhi hak-hak rakyatnya.
“UN akan kita masukkan sebagai pelanggaran pendidikan dalam laporan pelaksanaan Hak Ekosob Indonesia 2010. Kami juga akan menyurati Mr Munoz sebagai pelapor khusus, dan mengundangnya untuk membuktikan apakah di Indonesia ada pelanggaran atau tidak”, ujar anggota TeKUN, Nurkhilis Hidayat di Jakarta, Selasa (2/12).
Dikatakan, pelanggaran ini akan mengakibatkan citra Indonesia buruk di masa internasional, karena pemerintah akan dinilai telah lalai dan tidak mampu memenuhi hak-hak rakyatnya.
Koordinator TeKUN, Gatot SH mengatakan, pemerintah telah melakukan pembangkangan hukum, karena mengabaikan putusan Mahkamah Agung tentang UN yang telah berkekuatan hukum tetap. “Putusan Pengadilan sudah clear, bahwa UN tidak bisa dilaksanakan kalau belum memenuhi syarat. Mereka terus berkelit karena sudah buntu. Meskipun ingin ajukan peninjauan kembali (PK), tidak bisa membatalkan eksekusi putusan”, ujarnya.
Menurutnya, UN harus dikesampingkan sebagai syarat kelulusan seperti dalam PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 72 Ayat (1) point 4. Syarat kelulusan, “katanya, hanya mengacu pada ketiga point sebelumnya, yakni menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai baik pada kelompok mata pelajaran tertentu, dan lulus ujian sekolah.
Senada dengan itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Farid Wadji di Medan, mengatakan, sekalipun pemerintah mengajukan peninjauan kembali (PK), putusan MA tersebut, tidak dapat ditunda lagi. Bagaimanapun, pemerintah harus terlebih dahulu melaksanakan akan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut.
DISKRIMINATIF
Farid menegaskan, tidak ada alasan bagi pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional untuk memaksakan kehendak dalam melaksanakan UN. Jika tetap dilaksanakan berarti pemerintah telah mengakal-akali putusan MA. Sebaliknya, pemerintah justru dianggap tidak memberikan pelajaran ataupun contoh yang baik terhadap masyarakat. Pemerintah malah mengajarkan pembangkangan hukum.
Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Hadi Supeno mengatakan, UN sangat diskriminatif terhadap anak Indonesia, terutama mereka yang di luar Pulau Jawa. “Sangat tidak masuk akal dan tidak adil, anak-anak di pedalaman Papua dan NTT misalnya, dituntut harus mencapai hal yang sama dengan anak-anak di Pulau Jawa. Sedangkan, kondisi anak dan sekolah sangat berbeda”, ucapnya.
Terkait dengan itu, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sekolah, Roder Nababan kepada SP di Medan, Sumatera Utara (Sumut), Selasa (1/12) mengatakan, pemerintah lebih baik memperhatikan nasib guru dari pada terus memperjuangkan pelaksanaan UN yang seakan menolak keputusan Mahkamah Agung atas penghapusan UN. Putusan MA tersebut tidak perlu dipermasalahkan, sebab akan menambah kesenjangan pelajar di tengah kota dengan di pelosok desa.
Roder mengatakan, pemerintah tidak perlu merasa malu atas keputusan yang dikeluarkan MA tersebut. Putusan itu lebih baik dilaksanakan, kemudian pemerintah dapat melakukan pembenahan-pembenahan, setidaknya lebih fokus untuk memperhatikan nasib guru bantu, memfasilitasi pendidikan dengan cara membiayai kuliah guru agar mendapatkan gelar sarjana.
Penolakan terhadap pelaksanaan UN, juga dilontarkan Dewan Pendidikan, Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur (Jatim), Selasa (1/12). Ketua Dewan Pendidikan Kota Probolinggo, Wawan E Kuswandoro menyatakan UN sudah tidak layak dijadikan acuan untuk kelulusan siswa, sehingga sebaiknya kelulusan siswa dikembalikan ke sekolah masing-masing. (SP/c)
Menurutnya, UN harus dikesampingkan sebagai syarat kelulusan seperti dalam PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 72 Ayat (1) point 4. Syarat kelulusan, “katanya, hanya mengacu pada ketiga point sebelumnya, yakni menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai baik pada kelompok mata pelajaran tertentu, dan lulus ujian sekolah.
Senada dengan itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Farid Wadji di Medan, mengatakan, sekalipun pemerintah mengajukan peninjauan kembali (PK), putusan MA tersebut, tidak dapat ditunda lagi. Bagaimanapun, pemerintah harus terlebih dahulu melaksanakan akan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut.
DISKRIMINATIF
Farid menegaskan, tidak ada alasan bagi pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional untuk memaksakan kehendak dalam melaksanakan UN. Jika tetap dilaksanakan berarti pemerintah telah mengakal-akali putusan MA. Sebaliknya, pemerintah justru dianggap tidak memberikan pelajaran ataupun contoh yang baik terhadap masyarakat. Pemerintah malah mengajarkan pembangkangan hukum.
Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Hadi Supeno mengatakan, UN sangat diskriminatif terhadap anak Indonesia, terutama mereka yang di luar Pulau Jawa. “Sangat tidak masuk akal dan tidak adil, anak-anak di pedalaman Papua dan NTT misalnya, dituntut harus mencapai hal yang sama dengan anak-anak di Pulau Jawa. Sedangkan, kondisi anak dan sekolah sangat berbeda”, ucapnya.
Terkait dengan itu, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sekolah, Roder Nababan kepada SP di Medan, Sumatera Utara (Sumut), Selasa (1/12) mengatakan, pemerintah lebih baik memperhatikan nasib guru dari pada terus memperjuangkan pelaksanaan UN yang seakan menolak keputusan Mahkamah Agung atas penghapusan UN. Putusan MA tersebut tidak perlu dipermasalahkan, sebab akan menambah kesenjangan pelajar di tengah kota dengan di pelosok desa.
Roder mengatakan, pemerintah tidak perlu merasa malu atas keputusan yang dikeluarkan MA tersebut. Putusan itu lebih baik dilaksanakan, kemudian pemerintah dapat melakukan pembenahan-pembenahan, setidaknya lebih fokus untuk memperhatikan nasib guru bantu, memfasilitasi pendidikan dengan cara membiayai kuliah guru agar mendapatkan gelar sarjana.
Penolakan terhadap pelaksanaan UN, juga dilontarkan Dewan Pendidikan, Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur (Jatim), Selasa (1/12). Ketua Dewan Pendidikan Kota Probolinggo, Wawan E Kuswandoro menyatakan UN sudah tidak layak dijadikan acuan untuk kelulusan siswa, sehingga sebaiknya kelulusan siswa dikembalikan ke sekolah masing-masing. (SP/c)
bagaimana yah sebenarnya sih ...
BalasHapuskalau negara ingin maju seperti
israel anak-anak nya paling pintar2
didunia sehingga mereka bisa menjual
segala produk2 bermutu ke seluruh dunia
contoh,,program komputer
cukup jenius otaknya kenapa aku tidak
seperti mereka kaya negara ini
bisa membuat sendiri kapal induk
berikut dgn technologi didalamnya,
tidak seperti sekarang belum bisa
buat satu produk lokal yg bisadi jual
kenegeri orang,dimana orang luar salut
akan kecanggihan ini.
kan kita hanya pemakai saja selama ini
kapan kita pembuat..
ilmu harus semakin susah agar bisa
dan lebih maju..kenapa orang luar bisa
kita tidak bisa sama2 manusia
awas china akan jadi no 1 dunia
ilmunya hanya mencontek produk orang
tapi ....lihat sendiri sekarang
contoh.hp,motor,dll
tks
Henry Nababan
Karawang,par siborongborong
Gabung di wiki mapia
buat siborongborong di kenal dunia
agar lebih maju dan tidak gelap.
kapan Nababan jadi presiden RI
BalasHapus